Pilih SMA Atau SMK?
| 14 March 2013 | 16:22
Dibaca: 1277
pilih SMU atau SMK ?
Agung
sedang duduk termenung ketika saya mendatangi rumahnya untuk membayar
iuran keamanan pada uwaknya (kakak laki-laki ibunya) yang bekerja
sebagai Kepala Keamanan kompleks. Keluarga mereka tinggal dalam satu
bangunan seluas 80 meter persegi yang dihuni 8 keluarga. Sedangkan
keluarga Agung sendiri terdiri dari 6 bersaudara, dia anak bungsu. Ke
empat kakaknya bekerja sebagai kuli bangunan, menikah muda dan tinggal
di bangunan yang sama. Sehingga setiap keluarga harus membangun kamar
tidur diloteng agar kegiatan rumah tangga dapat berlangsung.
Apa
yang dialami Agung dan keluarganya menimpa pada sebagian besar penduduk
kota besar. Mereka tinggal berdesakan karena jangankan untuk membeli
rumah baru, menyewa rumahpun mereka tidak
mampu. Padahal mereka adalah penduduk asli Bandung bukan pendatang dari
kota lain. Turun temurun keluarga mereka menghuni rumah tersebut, rumah
yang semakin sempit. Berbanding terbalik dengan bangunan perumahan
tertata di balik kawasan mereka. Disana tanah 500 – 1.000 m2 dihuni oleh
3-4 jiwa saja.
Agung
termenung karena bingung. Ayahnya menjanjikan dia dan Anwar (kakak
kandungnya) untuk meneruskan ke sekolah menengah atas (SMA). Mungkin
sang ayah jengah melihat penghasilan anaknya (kakak-kakak Agung)
kempas-kempis, bahkan sering menganggur. Mirip seperti dirinya yang
buruh bangunan juga. Maklum mereka hanya lulusan SD.
Sayang, tawaran sekolah sang ayah hanya hingga SMA. Dia tidak mampu membiayai lebih lanjut. Anwar
sang kakak (kebetulan satu angkatan karena pernah tidak naik kelas satu
tahun) tidak mempermasalahkan hal tersebut. Beda halnya dengan Agung,
dia ingin bersekolah lanjut.
“Mengapa bingung, Gung?”
“Saya
ingin sekolah di SMK saja, ingin ambil Disain Grafis. Tapi biayanya
lebih mahal dari SMA. Padahal selulus SMK, saya bisa kerja sambil kuliah.”
Pemikiran yang cemerlang, “Mengapa tidak pilih SMA seperti Anwar?” tanya saya.
“Banyak waktu terbuang untuk belajar yang tidak perlu bu. Misalnya pelajaran kimia, sepertinya saya tidak suka dan tidak nyambung dengan pekerjaan yang saya inginkan.”
“Kok Agung tahu tentang pelajaran Kimia?”
“Kan
sering lihat buku-buku SMA kepunyaan kakak-kakak di depan,” jawabnya
sambil mengangkat wajah menunjukkan bangunan di depan rumahnya.
Tempat
tinggal Agung memang termasuk kawasan padat penduduk sehingga setiap
bangunan begitu rapat demikian juga hubungan silaturahmi. ‘Kakak’ di
depan yang dimaksud Agung adalah tetangganya yang kebetulan mempunyai
wawasan cukup jauh kedepan sehingga bertekad menyekolahkan anak-anaknya
hingga SMA dan SMK. Mungkin berkat mereka jugalah Agung mendapat masukan
untuk memilih jurusan di SMK.
Ternyata
memilih SMA atau SMK tidak semudah seperti yang saya duga. Paling tidak
ada 3 hal yang mempersulit Agung menetapkan pilihan:
- Jumlah
SMK tidak sebanyak SMA, sehingga ketika nilai masuk SMK yang
dipersyaratkan tidak memenuhi, siswa harus masuk SMK yang tidak disukai
atau lebih naas lagi harus masuk SMA. Beda halnya dengan calon peserta didik SMA, siswa yang tidak berhasil masuk sekolah pilihannya, bisa banting stir ke SMA Negeri dengan passing grade lebih rendah atau memilih SMA Swasta saja.
- Jurusan
SMK pilihan biasanya hanya sedikit, contohnya kasus Agung diatas. Dia
memilih Disain Grafis yang letaknya jauh dari rumah (akibatnya biaya
transpor akan melonjak). Bahkan beberapa SMK seperti SMK Pertanian
terletak di luar Kota Bandung.
- Biaya
sekolah SMK umumnya lebih mahal karena ada biaya praktek yang lebih
tinggi daripada biaya praktek SMA yang besarannya relatif tetap.
Padahal
hasil kerja lulusan SMK umumnya luar biasa. Beberapa rekan yang
berwiraswasta memilih karyawan lulusan SMK daripada SMA, selain mereka
lebih trampil juga lebih rajin. Walaupun tentunya untuk penilaian rajin
perlu kajian lebih lanjut, tetapi ketrampilan mereka peroleh sewaktu
belajar di SMK.
Sebagai
contoh usaha keramik yang dikelola rekan saya alumni FSRD ITB. Dia
tidak mau repot mengajari keahlian dasar pada karyawannya, sehingga
memilih karyawan produksi dan marketing dari SMK jurusan keramik.
Atau
kasus kantor yayasan kami sekarang. Sebelumnya tugas administrasi
kantor dipegang oleh seorang mahasiswa yang sedang merampungkan
skripsinya. Dia diterima karena hubungan baik dan kami menganggap
kegiatan administrasi kantor adalah pekerjaan yang mudah. Tapi ketika dia lulus dan mengundurkan diri, ternyata file dalam komputer dan arsip administrasi kantor amburadul semua. Sulit sekali mencari file surat masuk atau sekedar file kiriman dari rekanan.
Akhirnya
kami sepakat untuk merekrut lulusan SMK administrasi perkantoran
sebagai gantinya. Tentu saja pekerjaan gadis manis ini tidak langsung
mulus. Kami harus mengajari mengarsip hard copy dan soft copy.
Prosesnya tidak lama karena dia sudah belajar dan mempraktekannya di
sekolah. Kini arsip kantor sudah rapi dan diapun mulai mempelajari hal
lainnya seperti mengelola pertunjukan grup seni serta mengurus program
yayasan.
Kisah
lainnya tentang lulusan SMK berkaitan dengan pekerjaan sebagai Chief
Accounting sebelum saya meninggalkan tugas ‘kantoran’. Dari 4 orang
pegawai yang menjadi anak buah, 2 orang diantaranya menonjol karena
cepat mengerti ketika mendapat penjelasan dan pekerjaannyapun rapi.
Mereka berdua merupakan andalan saya ketika harus berurusan dengan pajak
dan bank. Dan mereka berdua lulusan SMK jurusan akutansi (dulu SMEA).
Memang
belum ada penelitian tentang kemampuan lulusan SMK, demikian juga
kualitas lulusan sarjana. Karena itu saya berharap ada penelitian yang
menjawab pertanyaan mengapa ada seorang lulusan sarjana ekonomi akutansi
tidak mampu mengkategorikan biaya berdasarkan posnya? Padahal
kedua karyawan andalan saya (lulusan SMEA diatas) bisa mengerjakan
dengan mudah. Lulusan sarjana ekonomi akutansi tersebut akhirnya tidak
saya perpanjang masa tugasnya karena masih dalam masa 3 bulan percobaan.
Tingginya
pendidikan seseorang ternyata tidak berkorelasi langsung dengan
kualitas dan etos kerja. Padahal ada 2,3 juta anak terpaksa bekerja
karena tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
(Kompas, 10/09/2012). Karena itu saya sangat berharap agar pemerintah
mau menambah jumlah SMK yang ada. Dimulai dari SMK di kota besar. Setiap
SMA hanya boleh menambah kelas SMK, bukan SMA lagi. Baik swasta maupun
negeri. Agar SMA hanya diisi oleh peserta didik yang ingin melanjutkan
studi keperguruan tinggi. Sedangkan mereka yang berkeinginan bekerja
mendapat keleluasaan memilih sekolah.
Pemerintah
juga sebaiknya menambah anggaran untuk SMK karena mereka membutuhkan
biaya praktek lebih besar dibandingkan SMA. Sehingga ada perubahan
pandangan. Selama ini, mereka yang tidak mampu berpendapat bahwa lulusan
SD sama saja dengan lulusan SMA: sama-sama sulit mencari kerja. Dengan adanya penambahan SMK diharapkan ada pemicu untuk bersekolah tinggi karena lulusan SMK banyak diperlukan dunia kerja.
Jika pemerintah mau menambah anggaran dan memberlakukan regulasi penambahan kelas SMK oleh lembaga sekolah yang ada, semoga jargon SMK Bisa, Siap Kerja, Cerdas dan Kompetitif, tidaklah sekedar jargon. Semoga.
Maria Hardayanto